Pilih Kasih

Suatu hari gw disms: “Kata mami kapan ke rumah D mau ngeliat anaknya yang baru lahir?” Gw sms balik: “Loh? kita aja belum ke rumahnya F yang udah lahir duluan?” Balesannya cukup bikin gw bingung: “Setau gw kalo ke anak engga usah dateng, kalo ke boru harus dateng.” Gw jawab lagi: “Masa sih, kata siapa?” Adik gw jawab: “Tanya mami deh, gw bingung”.

Maka daripada gw salah salah kata, gw menghabiskan setengah hari untuk browsing dan konsul di dunia maya dengan orang-orang batak yang gw kenal. Dari yang gw tau bataknya well-done, hingga yang batak nya medium, gw tanya semua.  Jawabannya rata-rata mirip, bahwa engga ada keharusan hanya harus dateng ke keluarga boru saja. Jika kita punya anak dan punya boru, masak kita engga datengin kedua-duanya, kecuali emang kalo melahirkannya di rumah kita.  Memang ada kewajiban ulos, daging atau dekke, tetapi intinya menunjukkan syukur kita ga pakai pilih kasih!

Secara iseng gw juga nanya apa hukumnya kalo ganti nama. Rata-rata menjawab: potong kerbau! Ha!

Jadi, dalam sebuah kesempatan ketika disinggung soal kapan datang tersebut gw menyebutkan tentang adat istiadat mengunjungi itu. Mami gw kekeuh bahwa rumah anak laki-lakinya adalah rumahnya, jadi tidak perlu dikunjungi.  Gw kurang setuju, karena dari referensi dan pelajaran yang gw dapet bukan begitu jawaban yang tepat.  Gw mencoba sedikit mengejar, karena gw mencium bau pilih-pilih kasih yang kental. Tapi mami gw keukeuh dan bahkan menyalahkan mengapa keluarga mertuanya F tidak mengundang mereka kalo mereka memang datang, seolah-olah menyalahkan bahwa pihak seberang lah yang kurang tahu adat.

Disini gw mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Sebelumnya, setiap kali friksi antara adat dengan prinsip gw, maka gw akan menyalahkan adat.  Namun sekarang, gw lebih arif memahami bahwa memang sama seperti agama, pemahaman orang yang berbeda beda berpengaruh besar terhadap kebenaran praktikalnya.   Contohnya soal mengunjungi orang yang melahirkan ini.  Selama ini gw menganggap mami gw udah cukup memahami karena dia banyak bergaul di lingkungan adat, tapi ternyata engga juga tuh!  Mami gw sama juga dengan orang-orang yang bias, menggunakan adat demi kepentingan pribadi.  Karena dia emang lagi kurang cocok sama anak laki-lakinya lalu dia mengunci kepentingan adat sebagai alasan.  Karena dia lebih sayang kepada anak perempuannya yang satu itu, maka dia bahasanya ‘marikati’ untuk datang ke rumahnya.

Well, tapi gw jadi punya senjata untuk bilang bahwa: “Mungkin di kampung mereka caranya berbeda, ga perlu ngundang besan, karena kelihatannya adat ini  caranya berbeda di tiap tempat. contohnya, di kampung mami ganti nama engga potong kerbau, padahal dimana-mana orang ganti nama harus potong kerbau!”  Mami gw langsung teriak: “Kata siapa ganti nama harus potong kerbau?” Gw bilang: “Perlu gw kumpul orang batak dari berbagai penjuru? Kalau adat batak ada manualnya, pasti udah ditulis disana. Maksud gw disini bukan mau menyalahkan mami, karena gw toh ga mempersoalkan selama ini. Ompung gw mengganti namanya dari ompung-si-Annie (nama gw) ke nama lain, jangankan potong kerbau. Tapi gw ga juga menuntut. Gw mencoba memahami bahwa di kampung ompung dan mami adat istiadat yang berlaku unik dan berbeda dari custom peradatan batak yang baku.”  Lalu mami terdiam, mencari cara untuk mematahkan argumentasi gw.

Sekali ini gw terbentur, tapi kali ini gw menolak untuk babak belur.  Jangan ada lagi orang yang berlindung di balik kedok adat untuk kepentingan pribadinya.

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑