Daddy

Di dalam mimpi tadi malam saya melihat Daddy.  Daddy tersenyum.  Pada saat saya terbangun, sisa mimpi sudah tidak saya ingat lagi.  Kecuali Daddy.  And I started to missing him.

Dulu sekali Daddy pulang kerja dan di rumah tidak ada makanan siap makan. Saya masih berusia sekolah dasar dan memasak adalah tantangan.  Daddy mengajari saya untuk mengiris tomat dan mentimun, lalu menaburi sedikit garam di atasnya, sebagai pengganti sayuran masak yang akan lebih rumit menyiapkannya.  Setelah saya terbiasa menyalakn kompor minyak tanah bersumbu itu, saya bisa menggoreng ikan teri atau ikan kembung, menumbuk daun singkotng dan kacang menjadi menu makan malam Dadddy.  Saat itu saya tidak tahu betapa berharganya saat-saat itu.  Jika saya dapat mengulang hari, saya akan menumbuk daun singkong ribuan kali lagi agar Daddy makan malam.

Daddy yang saya kenal tidak pernah main bola dengan saya. Tidak paham congklak dan ular tangga.  Tidak pernah berenang atau naik gunung.   Daddy akan mengantar ke sekolah, menjemput ke les piano, selainnya dalah bekerja dan mengumpulkan penghasilannya untuk membiayai anak-anaknya. Daddy tidak paham apa itu hang-out bareng, tidak bisa mengajari matematika atau menggambar. Daddy tidak tahu kalau pinsil dan bolpoin habis atau crayon saya berhilangan. Daddy tidak mengerti music klasik dan tidak bisa menyanyi.   Saya baru dapat ngobrol dangan Daddy setelah saya mulai beranjak dewasa, karena bisa bertukar pikiran.  Jika saya dapat mengulang hari, saya ingin mengulang puluhan diskusi yang tidak selesai itu.  Tentang hidup, tentang manusia, tentang tujuan dan tentang kematian.

Di tanggal 31 Desember, di saat anak lain berkumpul bersama, merayakan pergantian tahun dengan party ajojing, main petasan atau kembang api, Daddy bersikukuh kami harus pulang ke rumah, berkumpul bersama keluarga, bersyukur, curhat dan berdoa.  Demikianlah bertahun-tahun berlalu  hingga Daddy pergi.  Setelah itu 31 Desember adalah games, bakar ikan atau nonton kembang api bersama teman dan kenalan.

Daddy tidak paham apa itu pesta sweet seventeen, tapi mau menunggu di mobil kalau saya pergi ke rumah teman mengucapkan selamat.  Waktu era handphone dimulai, Daddy punya Ericsson yang menjawab telepon cukup dengan membuka flip nya.  Tapi Daddy bersikeras, membuka flip, dan menekan tombol yes bergambar telepon, sehingga the calling party harus menunggu sedikit lebih lama untuk mendengar kata: Halo.  Daddy tidak bisa menyelami ilmu apa yang saya suka untuk pelajari, tapi Daddy lemari buku Daddy dipenuhi buku yang memicu keingin-tahuan saya. Daddy tidak paham siapa itu si Kanci di dorama Jepang, tapi berusaha tidak mengganggu saat kami sibuk nonton di depan TV.  Daddy adalah ayah yang hidup dalam dimensi yang berbeda dengan saya, namun sanggup mengajari saya nilai-nilai hidup yang baru saya pahami setelah saya berusia hampir 50 tahun. Daddy adalah ayah yang mengajari saya untuk bersuara lembut, selalu rendah hati, tidak perlu menyombongkan diri dan hidup dengan apa yang ada.  Daddy adalah ayah yang senang memakan cake pisang buatan saya walaupun rasanya tidak seenak bikinan Holland Bakery.  Daddy adalah ayah yang melepas Rolex nya untuk mengenakan Seiko yang saya beli dengan gaji pertama saya.

When we meet what I shall tell you first, Dad? How painful is the years that I missing you, or how grateful I was that you are no longer here watching these?

 

 

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑